PodcastsNewsSuarAkademia

SuarAkademia

The Conversation
SuarAkademia
Latest episode

Available Episodes

5 of 128
  • Harbolnas 2025: ketika emosi, ketakutan, dan diskon bertemu di persimpangan
    Harbolnas 2025: ketika emosi, ketakutan, dan diskon bertemu di persimpangan Desember mungkin menjadi momen yang identik dengan penutup tahun atau malah momen berlibur sekaligus hari natal dan pergantian tahun. Tetapi ada satu hal yang kini juga tidak lepas dari bulan Desember, yaitu Harbolnas atau Hari Belanja Online Nasional. Menjelang Harbolnas 2025, perilaku konsumen Indonesia menunjukkan dinamika yang unik. Meskipun kondisi ekonomi nasional tidak sepenuhnya stabil, tingkat kepercayaan konsumen terutama di kota-kota besar masih berada di angka indeks yang relatif tinggi, yakni di atas 120. Hal ini mencerminkan optimisme sebagian masyarakat, khususnya kelompok dengan pendapatan tetap yang merasa cukup aman untuk melakukan belanja akhir tahun. Namun, kondisi ideal tersebut tidak berlaku bagi semua kelompok. Konsumen dari sektor informal atau masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana cenderung lebih berhati-hati. Bagi mereka, Harbolnas bukan lagi momentum konsumsi besar-besaran, melainkan kesempatan untuk memaksimalkan diskon dan membeli barang-barang yang benar-benar penting. Dalam episode SuarAkademia kali ini, The Conversation Indonesia berbincang-bincang dengan Nuzul Solekhah, Peneliti Pusat Riset Kesejahteraan Sosial, Desa dan Konektivitas dari BRIN untuk membahas secara mendalam fenomena Harbolnas dan bagaimana keterkaitannya dengan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat hari ini. Nuzul menjelaskan, perbedaan perilaku belanja selama Harbolnas sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi. Kelas menengah atas cenderung membeli barang mewah atau kebutuhan sekunder, sementara kelompok lain lebih fokus pada kebutuhan pokok. Di sisi lain, bencana di Sumatra ikut menambah kompleksitas situasi yang terjadi dengan menekan sektor UMKM, pariwisata, dan aktivitas ekonomi lokal. Selanjutnya, Nuzul menyoroti bagaimana tekanan ekonomi mendorong orang melakukan pembelian kecil namun bermakna, misalnya produk skincare yang memberi rasa nyaman di tengah ketidakpastian. Fenomena ini merupakan bagian dari “ekonomi emosional” yang tidak hanya didorong kebutuhan praktis, tetapi juga kebutuhan psikologis. Disinggung juga bahwa kapitalisme modern menciptakan ritme perayaan, promosi, dan event diskon yang terus berjalan, termasuk Harbolnas. Perayaan ini membentuk pola konsumsi dan identitas sosial masyarakat, menjadikan belanja sebagai aktivitas emosional sekaligus sosial. Selain faktor ekonomi, pada tahun 2025 ini kondisi lingkungan menjadi tantangan yang tidak kalah besar. Ancaman cuaca ekstrem dimana-mana dan pemulihan infrastruktur di daerah terdampak bencana sangat berpotensi mengganggu aktivitas logistik dan minat belanja masyarakat. Sementara itu, perubahan preferensi belanja dan penurunan aktivitas wisata menunjukkan bahwa Harbolnas tahun ini tidak bisa dilepaskan dari konteks ekologis dan sosial. Nuzul menekankan bahwa memahami perilaku konsumen masa kini membutuhkan pendekatan multi-disiplin yang melihat hubungan antara ekonomi, psikologi, budaya, dan kondisi lingkungan. Nuzul menyoroti perlunya kolaborasi lintas sektor untuk memperkuat ekonomi digital yang berkelanjutan, serta memperhatikan kesejahteraan pekerja di sektor logistik dan pariwisata. Menurut Nuzul sendiri, Harbolnas 2025 bukan sekadar pesta diskon, tetapi cermin dari dinamika sosial ekonomi Indonesia. Perilaku konsumsi yang terjadi sendiri dipengaruhi oleh tekanan ekonomi, kondisi lingkungan, identitas sosial, dan kebutuhan emosional masyarakat itu sendiri. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi. Kamu bisa mendengarkan episode SuarAkademia lainnya yang terbit setiap pekan di Spotify, Youtube Music dan Apple Podcast.
    --------  
    34:49
  • Banjir Sumatra dan ancaman di depan mata, pernahkah kita siap?
    RidhaIrawan/ShutterstockIndonesia sedang berduka atas bencana banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan sekitarnya. Pemerintah menyebut Siklon Tropis Senyar sebagai pemicu utama banjir. Namun, menjadikan cuaca ekstrem sebagai satu-satunya penyebab tentu tidak bijak. Bencana ini semestinya menjadi titik refleksi akan banyak hal, terutama kerusakan ekosistem, buruknya tata kelola ruang, hingga alih fungsi lahan yang menyebabkan berkurangnya daerah resapan air dan berujung meluapnya bah. Di antara berbagai disiplin ilmu yang membahas banjir, hidrogeologi menjadi salah satu kunci untuk melihat bagaimana daerah resapan dapat berfungsi sebagai benteng untuk mencegah terjadinya banjir. Dalam episode SuarAkademia kali ini, The Conversation Indonesia mengundang Dasapta Erwin Irawan, dosen Departemen Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB), untuk membahas persoalan banjir dari perspektif hidrogeologi ini. Menurut Dasapta, upaya mengatasi banjir di tiap daerah itu tidak bisa disamakan, melainkan harus disesuaikan dengan kondisi wilayah masing-masing. Masalahnya, ujar dia, Indonesia belum punya data primer kondisi geologis di tiap wilayah yang cukup merata dan detail, sehingga upaya pencegahan banjir sulit efektif. Siklus air meteorik menjadi salah satu yang sering terabaikan dalam pemodelan banjir karena keterbatasan data. Sederhananya, siklus ini adalah perjalanan air hujan turun ke tanah, meresap, mengalir hingga kembali ke sungai atau mata air. Proses ini penting untuk memahami banjir, karena menentukan seberapa banyak air yang terserap tanah dan seberapa cepat air mengalir ke sungai. Kita butuh pemahaman lengkap tentang aliran air ini untuk memprediksi dan mencegah banjir. Namun, karena datanya kurang, bagian penting ini sering diabaikan dalam model banjir. Dasapta menekankan pentingnya kolaborasi antar pemangku kepentingan untuk membuka akses data, termasuk karya akademik yang banyak menyimpan temuan lapangan penting. Menurutnya, data yang sudah ada sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki perencanaan infrastruktur. Kata Dasapta, Indonesia harus mempersiapkan diri menghadapi kondisi ekstrem yang semakin sering muncul akibat perubahan iklim. Dalam situasi krisis, solusi ekstrem seperti relokasi atau modifikasi besar-besaran pada bentang lahan mungkin tak bisa dihindari. Manajemen banjir di Indonesia membutuhkan lompatan pengetahuan: berbagi data eksperimen, mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu, dan berani mempertimbangkan solusi mahal namun strategis. Tanpa langkah-langkah ini, tantangan banjir yang semakin ekstrem berpotensi terus menggerus ruang hidup masyarakat di berbagai daerah. Untuk jangka panjang, ia menekankan perlunya pendekatan multistakeholder yang menggabungkan rekayasa teknologi, pengetahuan geologi, tata ruang, dan kapasitas institusi publik. Sejumlah gagasan non-konvensional perlu dipertimbangkan, terutama jika terbukti efektif. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi. Kamu bisa mendengarkan episode SuarAkademia lainnya yang terbit setiap pekan di Spotify, Youtube Music dan Apple Podcast.
    --------  
    49:47
  • Pemerintah bagikan ‘smartboard’ untuk Digitalisasi pembelajaran: Keputusan cerdas atau malah bikin cemas?
    CC BYPresiden Prabowo Subianto baru saja meresmikan Program Digitalisasi Pembelajaran untuk Indonesia Cerdas. Program ini ditujukan sebagai upaya membangun ruang belajar yang lebih setara, interaktif, dan relevan bagi jutaan pelajar dari Sabang sampai Merauke. Pemerintah mengklaim, inti dari program ini tidak hanya memberikan perangkat baru di ruang kelas, tapi juga menjadi tempat pembelajaran yang lebih hidup dan relevan sesuai perkembangan zaman. Langkah-langkah yang sudah diambil diantaranya pembagian Papan Interaktif Digital (Interactive Flat Panel / Smartboard), laptop, materi pembelajaran digital, hingga pelatihan bagi para guru agar mereka siap mengintegrasikan teknologi dalam proses mengajar sehari-hari. Apakah hadirnya program ini akan menjadi sebuah gebrakan baru dan membuat pendidikan Indonesia menjadi lebih maju? Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas isu ini bersama tim newsroom The Conversation Indonesia, Diyah Hayu Rahmitasari (Editor Pendidikan dan Budaya) dan Robby Irfany Maqoma (Managing Editor). Hayu melihat peluncuran program ini seharusnya diikuti dengan pertanyaan yang mendasar: Apakah sekolah dan para guru benar-benar siap menerima alat baru ini? Apakah integrasi teknologi otomatis akan meningkatkan kualitas pembelajaran? Hayu berpendapat upaya digitalisasi sebelumnya kerap berakhir sebagai proyek yang baik di atas kertas, tetapi tidak efektif di lapangan. kesenjangan infrastruktur antarwilayah, keterbatasan kemampuan digital para guru, dan potensi meningkatnya waktu layar siswa tanpa pedoman pedagogis yang jelas seharusnya menjadi masalah yang perlu diperhatikan pemerintah sebelum akhirnya memulai program ini. Robby menguatkan argumen Hayu dengan menyatakan koneksi internet stabil saja masih menjadi kemewahan bagi banyak sekolah, sementara sebagian guru belum mendapatkan pelatihan memadai untuk memanfaatkan papan digital interaktif secara optimal. Robby menambahkan kalau program ini seharusnya tidak berhenti pada distribusi perangkat, tetapi harus dimulai dari kebutuhan lokal dan kapasitas aktor di lapangan. Ia menekankan bahwa masyarakat dan komunitas pendidikan perlu dilibatkan sejak awal, bukan hanya sebagai penerima tetapi sebagai penentu arah perubahan. Hayu juga melihat bahwa dalam pelaksanaan program ini, pemerintah bisa menggunakan strategi “dua jalur”: Memprioritaskan implementasi di sekolah yang sudah benar-benar siap sambil secara paralel memperkuat wilayah yang masih tertinggal dari sisi sumber daya dan literasi digital. Menurut Hayu, digitalisasi pendidikan seharusnya bukan perlombaan memperbanyak perangkat, melainkan upaya membangun ekosistem pembelajaran yang aman, inklusif, dan berkelanjutan. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi. Kamu bisa mendengarkan episode SuarAkademia lainnya yang terbit setiap pekan di Spotify, Youtube Music dan Apple Podcast.
    --------  
    35:44
  • Fenomena ‘job hugging’: Bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi?
    CreativaImages/ShutterstockDiskusi tentang job hugging belakangan ramai dibahas di media sosial, terutama di kalangan pekerja muda Indonesia. Istilah ini muncul sebagai reaksi balik dari tren job hopping, ketika banyak pekerja berani berpindah pekerjaan demi gaji lebih besar, lingkungan kerja lebih sehat, atau peluang karier yang lebih menjanjikan. Baca juga: Di balik kalimat "lebih baik capek kerja daripada capek cari kerja" yang berujung eksploitasi Kecenderungan bertahan dalam pekerjaan meski minat dan motivasi makin menipis ini semakin ramai diperbincangkan di tengah situasi ekonomi sekarang. Pilihan ini lahir dari kebutuhan untuk bertahan di tengah pasar kerja yang makin tidak menentu, ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, serta tekanan ekonomi yang terus meningkat. Lantas, bagaimana pendapat ahli terkait situasi ini? Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas fenomena job hugging bersama Norman Luther Aruan, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional. Norman mengatakan fenomena ini tidak hanya dirasakan oleh tenaga kerja Indonesia. Ia menyebut bahwa tren job hugging juga dilakukan oleh banyak sekali pekerja di berbagai negara lain. Selain karena ekonomi dunia yang sedang tidak stabil, situasi ini diperparah dengan cepatnya kemajuan teknologi. Otomatisasi dan digitalisasi membuat banyak pekerjaan berubah wujud atau mungkin hilang. Alhasil, para pekerja dituntut terus belajar agar tidak tertinggal. Norman juga menyoroti satu hal yang bisa saja terjadi di lingkungan kerja. Banyak pekerja yang terlihat loyal dan bertahan di pekerjaan yang tidak mereka sukai hanya karena takut kehilangan pendapatan. Rasa “setia” ini memberikan harapan semu kepada perusahaan yang menganggap pegawai loyal dan bisa berkontribusi maksimal untuk produktivitas. Padahal, pekerja justru merasakan demotivasi dan cenderung tidak bisa memberikan performa terbaik mereka. Norman mengatakan kebutuhan pekerja terhadap rasa aman dan kesempatan berkembang adalah hal yang mutlak. Tanpa kedua hal tersebut, tenaga kerja andal dan berkontribusi terhadap perekonomian nasional akan sangat sulit muncul dan tersedia di pasar tenaga kerja. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi. Kamu bisa mendengarkan episode SuarAkademia lainnya yang terbit setiap pekan di Spotify, Youtube Music dan Apple Podcast.
    --------  
    18:49
  • Bahaya hujan mikroplastik: Apa yang perlu masyarakat waspadai?
    EL_JUSUF/Pexels, CC BYSelama ini, kita mungkin mengira air hujan selalu menyegarkan. Namun, riset terbaru dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menggugurkan asumsi itu. Berdasarkan studi yang dilakukan di berbagai titik di Jakarta, para peneliti BRIN menemukan bahwa air hujan pun ternyata sudah tercemar mikroplastik. Polutan tersebut berasal dari berbagai aktivitas manusia sehari-hari, mulai dari penggunaan kendaraan bermotor, limbah rumah tangga, hingga kegiatan industri. Temuan ini menjadi peringatan serius bahwa polusi plastik tidak hanya mencemari tanah dan laut, tapi kini juga sudah mencapai lapisan atmosfer dan ujungnya turun kembali bersama air hujan. Lantas, apa yang perlu kita waspadai dari situasi ini? Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas isu ini bersama Luqman Hakim, akademisi dari Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia. Menurut Luqman, hal pertama yang harus ditelusuri adalah dari mana sumber polusinya. Mikroplastik bisa berasal dari serat sintetis pakaian, sisa pembakaran sampah plastik, hingga gesekan antara ban kendaraan dan jalanan. Saat ban bergesekan dengan jalan, partikel plastik dari ban terlepas ke udara, terbawa angin, lalu naik ke atmosfer. Hal serupa terjadi pada sisa pembakaran sampah plastik dan bahan polimer sintetis. Partikel mikoplastik semakin mudah beterbangan dan menyebar luas pada musim kemarau. Dalam hal ini, ujar Luqman, kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan Bali, adalah yang paling rentan tercemar mikroplastik karena padatnya penduduk dan tingginya mobilitas. Sementara kelompok masyarakat yang paling terdampak adalah kalangan menengah ke bawah yang sering berkegiatan di luar ruangan dan umumnya mengandalkan sepeda motor sebagai alat transportasi utama. Risiko semakin besar jika mereka tidak menggunakan masker atau helm. Partikel mikroplastik di udara bisa terhirup dan masuk ke tubuh manusia. Dari sisi lingkungan, air hujan bermikroplastik berpotensi mencemari sumber air permukaan dan laut, yang akhirnya masuk ke rantai makanan. Meski perlu penelitian lebih lanjut, studi global menunjukkan bahwa paparan mikroplastik bisa menimbulkan dampak kesehatan serius, termasuk gangguan hormon hingga kerusakan jaringan tubuh. Sayangnya, hingga kini Indonesia belum memiliki standar baku terkait kadar mikroplastik di udara maupun air hujan. Akibatnya, pemantauan dan pengendalian mikroplastik juga terbatas. Untuk itu, Luqman menekankan bahwa upaya pengendalian dan penanganan polusi plastik sangat mendesak untuk memutus siklus pencemaran mikroplastik. Pemerintah sebagai regulator harus memperkuat pengendalian sampah plastik sejak dari hulu melalui regulasi yang jelas, termasuk memberi insentif bagi produsen dan masyarakat agar mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, memilah sampah, dan mendorong kegiatan daur ulang. Selain itu, pemerintah juga harus mendorong produsen menyediakan alternatif kemasan yang lebih ramah lingkungan sembari mengedukasi publik tentang bahaya mikroplastik. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi. Kamu bisa mendengarkan episode SuarAkademia lainnya yang terbit setiap pekan di Spotify, Youtube Music dan Apple Podcast.
    --------  
    30:19

More News podcasts

About SuarAkademia

Suar Akademia adalah podcast ngobrol seru yang menghadirkan akademisi dan peneliti untuk menjelaskan dan mengomentari isu terkini, dipandu oleh para editor The Conversation Indonesia (TCID).
Podcast website

Listen to SuarAkademia, Today in Focus and many other podcasts from around the world with the radio.net app

Get the free radio.net app

  • Stations and podcasts to bookmark
  • Stream via Wi-Fi or Bluetooth
  • Supports Carplay & Android Auto
  • Many other app features

SuarAkademia: Podcasts in Family

  • Podcast Great Mysteries of Physics
    Great Mysteries of Physics
    Science, Physics
Social
v8.1.2 | © 2007-2025 radio.de GmbH
Generated: 12/14/2025 - 8:56:16 PM